Ekonomi Politik – Liberalisasi (di Sektor Perdagangan)
Ekonomi Politik – Liberalisasi (di Sektor Perdagangan)
Oleh : Cicilia Destirani
Kehidupan manusia tidak terlepas dari kegiatan ekonomi, dimana tujuan yang ingin dicapai seseorang dalam berekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kesejahteraan. Kemakmuran/kesejahteraan ini tidak dapat dicapai tanpa praktik ajaran agama dan validitas ekonomi yang tepat. Seperti yang kita ketahui, terutama di zaman modern ini, orang-orang cenderung menikmati kesenangan duniawi seperti mendapatkan kekayaan sebanyak yang mereka bisa.
Banyak sekali yang merupakan pengertian dari ekonomi politik menurut para ahli sehingga dengan itu pengertian sederhananya: (a) Menurut Lipsey dan Steiner (1991), ekonomi politik adalah studi yang menyelidiki produksi dan perdagangan, dan hubungannya dengan adat, hukum, dan pemerintah. (b) Dan menurut Budiarjo (2018), Ekonomi politik adalah teori atau studi tentang peran kebijakan publik dalam mempengaruhi kesejahteraan sosial dan ekonomi yang terkait dengan politik. Dengan demikian, ekonomi politik adalah ilmu yang membahas dan mengimplementasikan teori dan metode ekonomi yang mempengaruhi sistem sosial ekonomi yang beragam dan berkembang yang terbagi diantaranya kapitalisme, sosialisme; dsb, dan juga mempertimbangkan bagaimana kebijakan dibuat dan diimplementasikan, karena individu dan kelompok yang berbeda memiliki kebutuhan yang berbeda dan dapat bersaing satu sama lain. Dan ekonomi politik juga merupakan bidang penuh filosofi moral yang digunakan pada abad ke-18 untuk mempelajari pengelolaan barang milik negara dalam konteks konsep pemerintahan.
Pendekatan ekonomi politik menghubungkan semua pemerintahan politik yang terkait dengan wilayah, proses dan kelembagaan dengan aktivitas ekonomi suatu komunitas atau pemerintah (Ruslin, 2012). Dalam sistem ekonomi liberal kapitalisme dan ekonomi klasik, fenomena yang terjadi saat ini adalah mekanisme pasar bebas tidak berjalan sebagaimana mestinya dan akibatnya dimonopoli oleh penggunaan kapitalisme, yaitu dengan meningkatkan permintaan barang melalui penjualan. Hal ini dilakukan karena mereka menjual produknya dengan harga tinggi. Pemerintah Indonesia sama sekali belum menguasai kapitalisme ekonomi liberal. Karena Indonesia cenderung berpegang pada rezim neoklasik, pemerintah masih dapat melakukan intervensi pasar untuk menstabilkan harga komoditas langka di pasar sehingga harga turun dan tidak setinggi saat ini. Tentu saja, ini membutuhkan kebijakan pemerintah yang mengambil langkah tegas, bukan hanya kata-kata.
Di sisi lain, bila sektor ekonomi terutama dikuasai sang sektor swasta, negara cenderung kapitalis dan sebaliknya, bila ekonomi lebih dikendalikan sang publik, maka lebih sosialis. Tolak ukur tersebut memungkinkan kita buat tahu berapa pengawasan kapitalisme sudah menyebar pada Indonesia. Memang, jejak kapitalisme bisa ditemukan pada Indonesia waktu Indonesia memasuki era pemerintahan orde baru. Pemerintahan Orde Baru dimulai dalam Maret 1966, orientasi orde baru sangat tidak sama menggunakan era sebelumnya. Kebijakan Orde Baru terutama berpihak dalam ideologi Barat dan menjauhi ideologi sosialis. Seiring membaiknya politik Indonesia terhadap negara-negara Barat, genre kapital asing, khususnya FDI (investasi asing), mulai mengalir ke Indonesia & utang luar negeri mulai meningkat. Pada awal 1970-an, Inter Government Group on Indonesia (IGGI) didirikan menjadi kemitraan yg melibatkan beberapa negara maju, termasuk Jepang, bekerja sama menggunakan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) & Bank Pembangunan Asia (ADB). Bertujuan buat pembangunan konstruksi pada Indonesia.
Di negara maju, liberalisasi sering dilihat sebagai akar penyebab meningkatnya ketidaksetaraan antara pekerja dan pekerja tidak terampil, terutama di antara yang terakhir. Berbagai persoalan ekonomi politik telah dibawa ke arah liberalisasi ekonomi, termasuk liberalisasi sektor keuangan, industri, dan komersial (perdagangan). Kemunculan sektor perbankan di Indonesia dan pesatnya transaksi utang luar negeri oleh perusahaan-perusahaan swasta kemudian membentuk situasi ekonomi di Indonesia saat itu. Era pembangunan ekonomi pada masa orde baru sudah pasti berakhir. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde baru menandai terjadinya krisis mata uang (krisis moneter) yang menghancurkan seluruh pilar perekonomian Indonesia. Namun, setelah memasuki era krisis mata uang dan reformasi, kebijakan ekonomi Indonesia tidak berubah dibandingkan model sebelumnya. Lebih liberal, sejalan dengan pedoman IMF, Indonesia tentu bergerak menuju liberalisasi ekonomi.
Arah kebijakan ekonomi berubah dengan suksesi kepemimpinan Suharto (Orde Baru). Tanda-tanda liberalisasi telah dilihat sebagai kekuatan pendorong untuk perbaikan sejak kejatuhan ekonomi periode sebelumnya. Di sektor perbankan, perubahan kebijakan lebih beragam dari sebelumnya dan waktu perubahannya relatif ketat dan intens. Perubahan yang bertumpu pada deregulasi dapat menginisiasi liberalisasi sehingga hambatan yang mendahului dapat diatasi langsung oleh ideologi politik. Dinamika ini dapat diterjemahkan. Pertama, kebijakan pemerintah belum mampu membimbing sampai ke akar masalahnya. Kedua, perubahan hanya bersifat sementara dan menyelesaikan masalah bankir dalam waktu singkat, dan kecenderungan untuk mengevaluasi kelemahan dapat menyebabkan masalah baru.
Sebagai anggota WTO, Indonesia mendukung kebijakan perdagangan dunia yang bebas dan adil, dan tujuan jangka panjang WTO adalah meningkatkan akses pasar dan mengurangi dukungan domestik, atau liberalisasi perdagangan yang dapat mendistorsi pasar. Pengurangan subsidi ekspor (export subsidies). Tujuan ini harus membawa keuntungan bersama bagi semua negara di dunia. Namun pada kenyataannya, hasil negosiasi antara perdagangan internasional dan sektor pertanian di WTO cenderung mengorbankan negara berkembang (Suryana, 2004).
Keterlibatan Indonesia dalam liberalisasi ekonomi memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Pertama, tata kelola domestik dapat diartikan sebagai landasan yang kokoh untuk fokus pada persaingan lebih lanjut dalam skala global. Kedua, adanya faktor-faktor global, regional dan bilateral yang mendesak yang mendorong Indonesia untuk memperkuat berbagai perjanjian kerjasama di setiap level. Ketiga, karena kelambanan pemerintah dalam mempercepat kemakmuran dan pembangunan warganya, pengaruh internal cukup buruk untuk membawa perbaikan melalui liberalisasi ekonomi. Dari penjelasan yang didapatkan dari Yustika (2014) menunjukkan bahwa kita menemukan garis yang hampir seluruhnya lurus pada poin kedua dan ketiga. Alasan-alasan ini dapat dijelaskan tanpa menambah peran sektor lain dengan memeriksa karakteristik individu dari liberalisasi ekonomi untuk mengingat pilar yang paling menonjol. Secara umum, Perangkap liberalisasi ekonomi dapat dibagi menjadi sektor perdagangan dan sektor investasi. Pentingnya peran perdagangan menunjukkan persepsi Indonesia bahwa perekonomian domestik Indonesia tidak dapat dipisahkan dari implikasi politik dan ekonomi negara lain. Tetapi kesulitannya adalah bahwa kerja sama perdagangan dan ekonomi menguntungkan warga negara.
Sama halnya dengan peristiwa yang sedang hangat dibicarakan, dimana kenaikan harga minyak dan gas bumi terus menerus menjadi perhatian berbagai kalangan, hal ini karena kenaikan harga mempengaruhi inflasi yang pada gilirannya menaikkan harga beberapa komponen. Kebutuhan dasar masyarakat berupa barang dan jasa. Hal ini juga berdampak pada bisnis, karena biaya produksi meningkat, dan pekerja menuntut upah yang lebih tinggi, terutama karena meningkatnya biaya hidup akibat pandemi, yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan masker dan pembersih tangan. Banyak perusahaan yang gulung tikar dan memasuki masa pensiun (PHK). Secara tidak langsung, hal itu menyebabkan peningkatan besar pada orang miskin dan tingkat pengangguran. Dampak dari peningkatan ini meresap ke dalam seluruh langkah kehidupan di setiap sudut wilayah. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah menyediakan dana kompensasi untuk menghilangkan orang miskin. Namun, seperti penyakit kronis, penyebab kemiskinan dan pengangguran yang terus-menerus hampir dianggap suci dan tampaknya tidak dapat dikendalikan. Kinerja ekonomi berbagai daerah tidak membaik, semakin meluas, dan berdampak signifikan terhadap aspek sosial masyarakat sehingga berdampak pada aspek sosial masyarakat.
Perdebatan soal kenaikan subsidi minyak sebenarnya adalah dua isu kebijakan ekonomi yang terkait dengan keberadaan negara. Indonesia telah memasuki lingkaran kekuatan neoliberalisme dan globalisasi. Sejak saat itu, situasi penetapan harga minyak dan gas bumi yang semula berada di tangan negara telah diliberalisasi berdasarkan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001. Gas bumi dipercayakan pada mekanisme persaingan “usaha yang sehat dan adil”. Liberalisasi sektor hilir perusahaan migas jelas mengutamakan pengusaha swasta dan asing. Liberalisasi juga terlihat dalam Pasal 9, yang menyatakan bahwa usaha hulu dan hilir dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha Swasta”. Oleh karena itu, setelah dicermati, hukum migas menjadi akar permasalahan ini. Sejak berlakunya UU Migas Tahun 2001, pemerintah memberlakukan hal tersebut. hukum karena mampu menyediakan lebih banyak blok minyak dan gas.
Kondisi seperti itu tentunya erat kaitannya dengan aturan yang digunakan oleh pemerintah. Dengan kata lain, dalam konsep ekonomi kapitalis atau ekonomi tradisional, sumber daya alam, terutama minyak dan gas, dianggap milik pribadi karena merupakan prinsip dasar ekonomi kapitalis, itu adalah prinsip kebebasan, dan selama memiliki modal / kekuatan / kekuatan untuk mengendalikannya, setiap individu bebas untuk mendapatkan apa yang dia suka, sehingga diuntungkan dari situasi ekonomi saat ini. Tidak mengherankan bahwa hanya sedikit orang. Ketika mengamati perubahan yang terjadi di berbagai belahan dunia, kita tidak dapat memisahkannya dari berbagai tingkat pemikiran manusia saat itu. Mengingat keragaman pemikiran dalam masyarakat, konflik antar manusia, suku, bangsa, atau agama adalah hal yang wajar.
Oleh karena itu, liberalisasi ekonomi yang berdampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri, memerlukan perhatian dan tindak lanjut yang mendesak dan serius. Ini bekerja dalam beberapa cara, tetapi di lain hal itu bisa disebut menjengkelkan. Hasilnya adalah redefinisi peran negara bagi warganya dan keterpaduan tujuan ekonomi yang ingin dicapai. Kebijakan bebas dan proaktif yang digagas Indonesia harus realistis diwujudkan melalui partisipasi mandiri Indonesia dalam mensejahterakan masyarakat dunia pada umumnya, khususnya rakyat Indonesia, yang tercermin dalam renegosiasi. Sebaliknya, berbagai kebijakan kerjasama ekonomi yang berpihak pada pihak asing, kepastian hukum investor, dan perlindungan konsumen sebagai pihak yang terkena dampak oleh kesepakatan sektor ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. (2018). Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hidsal Jamil (2015). Perangkap Liberalisasi Ekonomi di Indonesia.
Lipsey, R. G., & Steiner, P. O. (1991). Pengantar Ilmu Ekonomi I Edisi Ke-enam. Jakarta: Rineka Cipta.
Ruslin, I. T. (2012). Relasi Ekonomi-Politik Dalam Perspektif Dependencia. Jurnal Wawasan Keislaman (Sulesana), 7(2), 114–126.
Suryana (2004). Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 2005 – 2009. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Yustika, Ahmad Erani (2014). Perekonomian Indonesia: Memahami Masalah dan Menetapkan Arah. Selaras. Malang., 139-168.
.jpeg)
Komentar
Posting Komentar